Terjawab Perubahan Hak Libur dan Pesangon Karyawan di UU Cipta Kerja Omnibus Law, Ada yang Hilang

Kabarcidaun.com - Terjawab perubahan hak libur dan pesangon karyawan di UU Cipta Kerja Omnibus Law, ada yang hilang.
Meski menuai kontroversi, DPR RI akhirnya mengesahkan RUU Cipta Kerja, satu diantara Omnibus Law.
Diketahui, organisasi buruh sebagian besar menolak pengesahan UU Cipta Kerja ini lantaran dinilai banyak memuat pasal kontroversial.
Lantas, bagaimana dengan hak cuti dan pesangon karyawan yang di PHK di dalam UU Cipta Kerja?
Omnibus law UU Cipta Kerja memangkas sejumlah hak pekerja yang semula ada dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan naskah UU Cipta Kerja yang diterima Kompas.com dari Badan Legislasi DPR, Senin (5/10/2020), ketentuan Pasal 79 yang mengatur waktu istirahat dan cuti pekerja diubah.
Pasal 79 ayat (2) huruf (b) dalam Bab IV UU Cipta Kerja mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
Ketentuan ini mengubah aturan dalam UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu.
Selain itu, Pasal 79 juga menghapus istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut.
Pasal 79 ayat (3) UU Cipta Kerja hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.
Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Sementara, UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa perusahaan wajib memberikan istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing satu bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja enam tahun berturut-turut.
Ketentuan ini berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja enam tahun.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 79 ayat (2) huruf (d). Pada dua ayat lainnya, disebutkan hak istirahat panjang berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja di perusahaan tertentu yang diatur dengan keputusan menteri.
RUU Cipta Kerja telah disahkan DPR menjadi undang-undang melalui Rapat Paripurna, Senin (5/10/2020).
Ketua Badan Legislasi ( Baleg) DPR, Supratman Andi Agtas, dalam pemaparannya di rapat paripurna menjelaskan, RUU Cipta Kerja dibahas melalui 64 kali rapat sejak 20 April hingga 3 Oktober 2020.
RUU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal.
"Baleg bersama pemerintah dan DPD telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali: 2 kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan 6 kali rapat timus/timsin yang dilakukan mulai Senin sampai Minggu, dimulai pagi hingga malam dini hari," ujar Supratman.
"Bahkan masa reses tetap melakukan rapat baik di dalam maupun luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," tutur dia.
Pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, RUU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja.
Menurutnya, RUU Cipta Kerja akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.
"Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi.
Untuk itu diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja.
UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi," ujar Airlangga Hartarto.
Skema pemberian pesangon Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK) telah disepakati untuk diubah oleh Pemerintah dan DPR dalam klaster ketenagakerjaan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Awalnya pesangon PHK diberikan sebanyak 32 kali upah.
Dengan rincian 23 kali upah ditanggung pemberi kerja dan 9 kali ditanggung melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan ( JKP).
Hal itu tercantum dalam UU Ketenagakerjaan No 13/2003.
Namun, Pemerintah yang diwakili Staf Ahli Kemenko Perekonomian Elen Setiadi mengusulkan penghitungan pesangon PHK diubah menjadi 19 kali upah.
Ditambah 6 kali Jaminan Kehilangan Pekerjaan ( JKP), sehingga totalnya menjadi 25 kali upah.
"Dalam perkembangan dan memperhatikan kondisi saat ini, terutama dampak pandemi Covid-19, maka beban tersebut diperhitungkan ulang.
Perhitungannya adalah sebagai berikut.
Yang menjadi beban pelaku usaha atau pemberi kerja maksimal 19 kali gaji dan ditambah dengan JKP sebanyak 6 kali yang dilakukan pengelolaannya oleh pemerintah melalui BPJS," ujar Elen dalam rapat kerja bersama Badan Legislasi DPR, Sabtu (3/10/2020).
Skema baru ini diusulkan karena banyaknya perusahaan atau pemberi kerja yang ternyata tak sanggup membayarkan pesangon PHK yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan No 13/2003.
Tak hanya itu, besaran pesangon PHK pekerja Indonesia termasuk besar jika dibandingkan dengan negara lain seperti Vietnam dan Malaysia.
Besaran pesangon itu dinilainya menghambat masuknya investor ke Tanah Air.
"Dengan konsep ini kita ingin adanya kepastian bahwa setiap terjadi PHK, hak-hak yang menjadi hak pekerja atau buruh tetap dapat diterima oleh pekerja atau buruh.
Yang selama ini memang betul jumlahnya secara nominal tinggi 32, kami sudah sampaikan faktanya bahwa tidak banyak memberikan pesangon dengan jumlah setinggi itu," kata Elen.
"Kita adalah yang paling tinggi memberikan jaminan pesangon, 32 kali.
Vietnam mungkin hanya berapa, Malaysia berapa.
Karena itu, ini jadi pertimbangan orang masuk. Ketika saya (misalnya) investasi, karena ada satu dua hal saya nanti lakukan PHK pesangon, tidak cukup modal saya.
Ini jadi pertimbangan," imbuhnya.
Selepas itu, Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas meminta suara persetujuan para anggota Baleg terkait usulan pemerintah tentang skema pemberian pesangon PHK yang totalnya berjumlah 25 kali upah.
"Oleh karena itu saya minta persetujuan kepada fraksi-fraksi apakah dengan komposisi bisa kita setujui?," tanya Supratman.
Namun Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS diketahui belum memberikan persetujuan. Kedua fraksi ini tetap menginginkan besar pesangon dengan total 32 kali upah.
Anggota Baleg DPR RI Fraksi Demokrat Hinca Panjaitan mempertanyakan urgensi pemerintah menurunkan besaran pesangon bagi pekerja yang di-PHK hanya karena perusahaan yang mampu membayar pesangon sesuai aturan baru tercatat 7 persen.
"Saya khawatir sekali kalau ini turun ini akan merusak tatanan yang sudah ada.
Mereka akan marah, karena pandangan kami mohon lagi dijelaskan dan Demokrat tetap kembali ke konsep lama, 23 dan 9," kata Hinca Pandjaitan.
Sementara anggota Baleg DPR RI Fraksi PKS Ledia Hanifa Amaliah juga secara tegas menolak usulan pemerintah terkait besaran pesangon tersebut.
"Fraksi PKS tetap kesepakatan panja pertama, tidak menginginkan perubahan seperti yang disampaikan pemerintah," kata Ledia.
Supratman kemudian sempat menanyakan kembali sikap pemerintah soal usulan tersebut.
"Pemerintah saya ingin tanya sekali lagi, apakah komposisi 19 kali plus 6 kali pemerintah tetap bertahan atau ingin mengubahnya?" kata Supratman.
"Pandangan pemerintah tetap 19 plus 6 JKP," ujar Elen.
Lantas, akhirnya Supratman kemudian mengetuk palu tanda persetujuan.
Sumber : Tribunnews.com
0 Response to "Terjawab Perubahan Hak Libur dan Pesangon Karyawan di UU Cipta Kerja Omnibus Law, Ada yang Hilang"
Posting Komentar